MIKROBA dan MATA BINTITAN
(HORDEOLUM)
Dari dulu sampai sekarang banyak sekali
orang yang menganggap bahwa mata bintitan disebabkan karena habis menintip
sesuatu yang negatif. Tapi sebenarnya apa sih yang menyebabkan mata bintitan
itu? Apakah benar asumsi masyarakat mata bintitan itu terjadi karena mengintip
hal yang nga baik ? maka, daripada itu ayo kita bahas...
Mata
bintitan adalah sebuah bisul kecil atau besar yang
terletak di kelopak mata. Dalam ilmu kedokteran sakit mata bintitan ini dikenal
dengan nama hordeolum yaitu infeksi
yang disebabkan bakteri di dekat akar bulu mata atau pada kelopak mata. Infeksi
jenis ini sangat banyak dijumpai dan biasanya tidak parah meski menimbulkan
rasa sakit tapi dalam beberapa kasus juga ada yang semakin hari mata bintitan
ini semakin parah. Bakteri yang menyebabkan penyakit hordeolum ini adalah bakteri Staphylococcus
aureus.
Gejala mata bintitan
Gejala sakit
mata bintitan ini biasanya ditandai dengan adanya benjolan berwarna kemerahan
diarea kelopak mata baik diatas mautup dibawah dan biasanya disertai dengan
bintik berwarna putih atau kuning dibagian tengahnya. Semakin lama penderita
penyakit ini akan merasakan sebuah benjolan yang semakin membesar/membengkak
yang menyebabkan rasa gatal, mata cepat mengeluarkan cairan dan susah untuk
mengedipkan mata. Berdasarkan letak terjadinya, mata bintitan (hordeolum) dibagi
menjadi dua bagian yaitu, mata bintitan interna dan mata bintitan ekstern.
·
hordeolum interna : jenis hordeolum ini terjadi pada bagian kelenjar
meibom, dan mengarah pada selaput kelopak mata bagaian dalam.
·
hordeolum eksterna : terjadi pada kelenjar zeis
dan moll dimana bejolan mengarah pada bagian luar kelopak mata.
Apa
itu bakteri Staphylococcus aureus ???
Bentuk bakteri (Staphylococcus
aureus)
Staphylococcus aureus termasuk
kedalam bakteri Gram positif yang berbentuk bulat berdiameter 0,7-1,2 μm, yang
mana tersusun dalam kelompok-kelompok yang tidak teratur seperti buah anggur,
berantai pendek, berpasangan, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, tidak
berkapsul, dan dinding selnya mengandung dua komponen utama yaitu peptidoglikan
dan asam teikhoat, fakultatif anaerob, dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh
pada suhu optimum 37 ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar
(20-25 ºC). Koloni pada perbenihan padat berwarna abu-abu sampai kuning
keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau. Lebih dari 90%
isolat klinik menghasilkan S. aureus yang mempunyai kapsul
polisakarida atau selaput tipis yang berperan dalam virulensi bakteri (Jawetz et
al., 1995 ; Novick et al., 2000).
Metabolisme
dapat dilakukan secara aerob dan anaerob. Infeksi yang disebabkan di golongkan
sebagai penyakit menular/lokal (biasanya) atau menyebar (jarang).
Staphylococcus adalah sel yang berbentuk bola dengan garis tengah sekitar 1μm
dan tersusun dalam kelompok tak beraturan. S.aureus menghasilkan koagulase,
suatu protein mirip enzim yang dapat menggumpalkan plasma yang telah diberi
oksalat atau sitrat dengan bantuan suatu faktor yang terdapat dalam banyak
serum. Bakteri yang membentuk koagulase dianggap mempunyai potensi menjadi
patogen invasif.
S. ureus dapat ditemukan di kulit dan di hidung manusia, (Hidung biasanya
dianggap tempat utama berkembangnya kolonisasinya) dan ada kalanya dapat
menyebabkan infeksi dan sakit parah. Pada osteomielitis, fokus primer
pertumbuhan S.ureus secara khas
terjadi di pembuluh-pembuluh darah terminal pada metafisis tulang panjang,
mengakibatkan nekrosis tulang dan penanahan menahun.
Staphylococcus
aureus juga penyebab intoksitasi dan terjadinya berbagai macam infeksi seperti
pada bintitan, jerawat, bisul, juga pneumonia, empiema, endokarditis, atau
penanahan pada bagian tubuh mana pun Leukosidin; toksin S.aureus ini dapat mematikan sel daraH putih pada banyak hewan yang
terkena oleh toksin ini, tetapi peranannya dalam patogenesis tidak jelas, sebab
staphylococcus patogen tidak
mematikan sel-sel darah putih dan dapat difagositosis seefektif jenis yang
tidak patogen, namun bakteri tersebut mampu berkembang biak dengan sangat aktif
di dalam sel.
40-50%
manusia adalah pembawa S.aureus dalam
hidungnya, dan dapat di temukan di baju, sprei, dan benda-benda lainnya sekitar
manusia. Kebanyakan orang mempunyai staphylococcus
pada kulit dan dalam hidung atau tenggorokan. Infeksi ganda yang berat pada
kulit mis; jerawat. Pada jerawat, lipase staphylococcus melepaskan asam-asam
lemak dari lipid dan menyebabkan iritasi jaringan.
Bahan
makanan yang disiapkan menggunakan tangan, seperti penyiapan sayuran mentah
untuk salad, juga berpotensi terkontaminasi S. aureus. . Keracunan oleh S.
aureus diakibatkan oleh enterotoksin yang tahan panas yang dihasilkan oleh
bakteri tersebut. Infeksi S.ureus dapat juga di sebabkan oleh kontaminasi
langsung pada luka, misalnya pada infeksi luka pascabedah oleh staphylococcus
atau infeksi setelah trauma (osteomielitis kronis setelah fraktur terbuka,
menigitis setelah fraktur tengkorak)
Bila
S.aureus menyebar dan terjadi bakteremia, dapat terjadi endokarditis,
osteomielitis akut hematogen, meningitis, atau infeksi paru-paru. Gambaran
klinisnya mirip dengan gambaran klinis yang terlihat pada infeksi lain yang
melalui aliran darah. Bakteremia, endokarditis, pneumonia, dan infeksi hebat
lain yang disebabkan oleh S.aureus memerlukan terapi intravena yang lama dengan
penicilin yang resisten terhadap β-laktamase. Vankomisin sering dicadangkan
untuk staphylococcus yang resisten terhadap nafsilin. Jika infeksi disebabkan
oleh S.aureus yang tidak menghasilkan β-laktamase, penicilin G merupakan obat
pilihan, tetapi hanya sedikit strain S.aureus yang peka terhadap penicilin G.
Faktor
Virulensi S. Aureus
S. aureus dapat
menimbulkan penyakit melalui kemampuannya tersebar luas dalam jaringan dan
melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler. Berbagai zat yang berperan
sebagai faktor virulensi dapat berupa protein, termasuk enzim dan toksin,
contohnya :
1.
Katalase
Katalase adalah enzim yang berperan pada
daya tahan bakteri terhadap proses
fagositosis.
Tes adanya aktivtias katalase menjadi pembeda genus Staphylococcus dari Streptococcus
(Ryan et al., 1994; Brooks et al., 1995).
2.
Koagulase
Enzim ini dapat menggumpalkan plasma
oksalat atau plasma sitrat, karena adanya faktor koagulase reaktif dalam serum
yang bereaksi dengan enzim tersebut. Esterase yang dihasilkan dapat
meningkatkan aktivitas penggumpalan, sehingga terbentuk deposit fibrin pada
permukaan sel bakteri yang dapat menghambat fagositosis (Warsa, 1994).
3.
Hemolisin
Hemolisin merupakan toksin yang dapat
membentuk suatu zona hemolisis di sekitar koloni bakteri. Hemolisin pada S.
aureus terdiri dari alfa hemolisin, beta hemolisisn, dan delta hemolisisn.
Alfa hemolisin adalah toksin yang bertanggung jawab terhadap pembentukan zona
hemolisis di sekitar koloni S. aureus pada medium agar darah. Toksin ini
dapat menyebabkan nekrosis pada kulit hewan dan manusia. Beta hemolisin adalah
toksin yang terutama dihasilkan Stafilokokus yang diisolasi dari hewan, yang
menyebabkan isis pada sel darah merah domba dan sapi. Sedangkan delta hemolisin
adalah toksin yang dapat melisiskan sel darah merah manusia dan kelinci, tetapi
efek lisisnya kurang terhadap sel darah merah domba (Warsa, 1994).
Bagaimana
cara mengobati hordeolum ??
Penyakit bintitan ini bisa terjadi jika daerah sekitar mata yang kurang
terjaga dengan baik. Penderita hordeolum sebaiknya mengurangi frekuensi berada
di luar rumah agar terhindar dari debu dan polusi udara. Penggunaan make up di
daerah sekitar mata dan lensa kontak juga perlu dihentikan selama masa
pengobatan. Bagian mata yang terkena hordeolum dikompres dengan air hangat selama 10 menit
sebanyak 4 – 6 kali dalam sehari. Air hangat ini dapat
berfungsi untuk
mengurangi rasa nyeri dan gatal yang timbul. Tidak boleh mengeluarkan nanah
dari hordeolum dengan cara memencetnya, karena dapat memperparah pembengjkakan
karena bagian yang tidak terkena hordium bias terkontaminasi, sehiongga harus
dibiarkan pecah dengan sendirinya. Jika sudah pecah maka
dibersihkan dengan air hangat dan kapas dengan hati-hati.
Jika kondisi
hordeolum bertambah parah dan menyebar, mintalah obat antibiotik berupa salep,
tetes mata, atau obat minum pada dokter untuk membunuh bakteri yang menyebabkan
infeksi tersebut. Kondisi bintitan akan sangat menggangu kenyamanan dan
kepercayaan diri kita dalam kehidupan sehari-hari. Untuk itu lakukan cara-cara
berikut ini untuk mencegah terjadinya bintitan pada mata:
1.
Pola hidup sehat. Munculnya
hordeolum bisa kita cegah dengan menerapkan pola hidup sehat dan bersih. Cara
yang paling mudah adalah dengan membiasakan diri mencuci tangan sebelum atau
setelah beraktivitas. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun merupakan
salah satu upaya untuk membasmi kuman penyebab penyakit.
2.
Hindari menggosok mata dengan tangan. Tanpa
disadari benda-benda yang kita sentuh merupakan sarang kuman penyakit,
contohnya seperti pulpen, handphone, keyboard, dan lain-lain. Oleh karena itu,
saat mata terasa gatal atau lelah, hindari menggosok mata dengan tangan.
Sebaiknya usap perlahan saja dengan menggunakan tissue atau handuk bersih untuk
mencegah kotoran masuk ke dalam mata.
3.
Make up. Bersihkan sisa-sisa make up
pada wajah sampai benar-benar bersih. Perhatikan juga tanggal kadaluarsa pada
make up yang akan kita pakai dan jagalah kebersihan alat-alat make up agar
tidak terkontaminasi oleh kuman.
4.
Jaga kebersihan mata. Daerah
di sekitar kelopak mata harus rutin dibersihkan agar tidak ada debu dan minyak
yang menumpuk. Saat berada di lingkungan berdebu, gunakanlah kacamata pelindung
agar mata tidak mudah terkena iritasi.
5.
Istirahat yang cukup. Mata
kita membutuhkan waktu istirahat yang cukup. Oleh karena itu, pejamkanlah mata
selama beberapa menit ketika mulai terasa lelah. Kondisi mata yang terlalu
lelah akibat kurang tidur dan banyaknya aktivitas dapat memicu terjadinya
hordeolum.
jadi, mata
bintitan itu bukan karena melihat yang tidak baik (negatif) tetapi dikarenakan
bakteri, akan tetapi factor kurang menjaga kebersihan juga yang menyebabkan
bakteri itu ada dan menyebabkan bintitan pada mata. Maka daripada
itu mari, kita jaga kebersihan diri kita sendiri.TRIMAKASIH….
“SEMOGA BERMANFAAT “
Daftar
pustaka
Brooks,
G.F., J.S. Butel, and L.N. Ornston. 1995. Medical Microbiology. 4th ed.
Conecticut: Appleton & Lange, Simon & Schuster Company. p.197-202.
Jawetz,
Ernest., 1996, Mikrobiologi Kedokteran
edisi 20, EGC, Jakarta.
Warsa,
U.C. 1994. Staphylococcus dalam Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran. Edisi
Revisi. Jakarta : Penerbit Binarupa Aksara. hal. 103-110.
Ahmad muslihin. Cara mengobati bintitan
.http://mediskus.com/penyakit/cara-mengobati-bintitan.html. 2015
Anonim.Staphylococcus.http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/09/pustaka_unpad_staphylococcus.pdf 2011
Anonim.staphylococcus.http://emedicine.medscape.com/article/1213080-overview . 2014